Aku tidak takut kematian;
untuk apa aku takut, jika kau adalah algojoku?
Untuk apa aku gemetar jika pedangmulah
yang akan menebas leherku?
(Majnun)
Ada
yang mengatakan bahwa cinta mampu membuat orang paling waras menjadi
gila, sekaligus membuat orang yang paling gila menjadi waras. Ada pula
yang mengatakan bahwa bukan cinta kalau belum membuat gila. Pernyataan
ini tentu saja tak bisa dipahami secara fisikal.
Kaum sufi
mengajarkan bahwa cinta adalah manifestasi penyatuan sang Pecinta
kepada sang Kekasih. Jadi dalam cinta tidak ada lagi dua wujud atau dua
fisik, melainkan satu. Dalam cinta tak ada lagi dua hati, tetapi
tunggal. Hanya cinta. Satu.
Para darwis, atau yang biasa
disebut sebagai orang yang ‘tergila-gila’ kepada Tuhan, menunjukkan
perilaku yang benar-benar ‘gila’ dalam upayanya mencintai Tuhan. Mereka
sudah tak ingat apa pun selain Tuhan. Jangankan mengingat hal lain,
bahkan dirinya sendiri pun sudah tak diingatnya. Yang ada hanya Tuhan,
dan itu terejawantahkan dalam setiap ucapannya, dalam setiap
perbuatannya, dalam setiap sudut kehidupannya, dalam setiap detak
jantungnya.
Para darwis telah menyatu dengan Tuhan karena
di dalam dirinya tak ada dirinya lagi, melainkan hanya ada Tuhan.
Inilah yang disebut cinta. Kalau masih ada jarak, artinya masih ada dua
kutub. Kalau masih ada jarak, artinya belum menyatu.
Cinta
adalah ‘penyatuan’ rasa, manunggaling ati. Dan ‘penyatuan’ ini tentu
tidak bisa didefinisikan sebagai penyatuan dua tubuh atau dua wujud
fisik, melainkan penyatuan akal, jiwa, dan denyut hidup. Cinta semacam
itulah yang membuat orang paling waras menjadi gila, juga sekaligus
membuat orang yang paling gila menjadi waras. Dan... kadang saya
tergoda untuk berpikir bahwa sebenarnya itulah hakikat cinta yang
sesungguhnya, dan karena itu pulalah Tuhan kemudian menciptakan cinta.
Untuk
memahami cinta semacam ini memang sulit jika diuraikan dengan
kata-kata, karena di sini yang berperan hanya hati—kata-kata tak
dibutuhkan lagi. Tetapi, kita mungkin bisa sedikit memahaminya dengan
membuka kembali puing-puing sejarah yang telah terkubur, membuka
kembali album Laila Majnun....
***
Majnun
sebenarnya bukan nama orang. Itu adalah sebutan bagi seorang laki-laki
bernama Qais al-Mulawwah, putra Syed Omri, seorang sayid (pemimpin)
kabilah Bani Amir di jazirah Arab. Orang-orang menjuluki Qais dengan
sebutan Majnun (gila) karena Qais benar-benar menjadi ‘gila’ dalam rasa
hatinya mencintai seorang perempuan bernama Laila, juga anak seorang
pemimpin kabilah.
Qais pertama kali mengenal Laila di
kampusnya. Dan sebagaimana hatinya, hati Laila pun bergetar merasakan
debar cinta. Dua hati bertemu di situ, dua jiwa menyatu. Tetapi cinta
yang dirasakan dua manusia ini bukan hanya cinta fisikal, bukan hanya
cinta yang artifisial, melainkan cinta yang telah mencapai hakikatnya.
Inilah
awal mula munculnya ‘kegilaan’ pada diri Qais. Dia tidak lagi
menganggap Laila sebagai orang yang dicintainya, melainkan sebagai cinta
itu sendiri. Jadi bagi Qais, Laila bukan lagi Laila, tetapi Cinta. Tak
ada Laila. Tak ada lagi dirinya. Yang ada hanya Cinta. Dan ketika
cinta telah mencapai titik semacam itu, manusia yang paling waras
pun menjadi gila. Qais pun lalu menjadi majnun.
Tetapi
tidak semua orang bisa memahami cinta seperti ini. Bagi kebanyakan
orang, cinta tetaplah cinta—dan itu pula yang terjadi pada keluarga
Qais, juga keluarga Laila. Ketika mereka melihat Qais seperti menjadi
gila, keluarga Laila pun mengungsikan anaknya agar sejauh mungkin
dengan Qais. Laila disembunyikan dalam sebuah perkemahan, dan setiap
hari dijaga dengan sangat ketat agar Qais tak bisa menemuinya.
“Jangan sampai si Majnun itu menemui putriku!” perintah ayah Laila kepada para pengawalnya.
Dan
Qais, si Majnun, memang benar-benar tak bisa lagi menemui Laila,
pujaan hatinya, cintanya satu-satunya. Keadaan itu membuatnya semakin
gila, dan orang-orang pun telah menganggapnya benar-benar majnun.